KONSEP MUDHARABAH SEBAGAI PENGGANTI SISTEM BUNGA DALAM PEREKONOMIAN
Pergeseran teori yang berpusat dari kepentingan pemilik saham menjadi teori berpusat pada kepentingan banyak pihak mengingatkan kita pada falsafah prinsip dasar Islam yang berkaitan dengan aspek muamalat, terutama muamalat iqtisadiyah. Falsafah muamalat Islam menaruh perhatian pada perwujudan kesejahteraan dan kemaslahatan manusia dengan sesamanya, manusia dengan makhluk lain dan manusia dengan alam secara seimbang dan berkeadilan. Salah satu aspek penting dalam muamalat Islam yaitu ekonomi dan praktek keuangan berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang dibangun di atas dasar fondasi aqidah, keadilan, kesejahteraan, persaudaraan, tanggung jawab dan lain sebagainya.
Filosofi dari religiusitas melahirkan suatu basis sistem ekonomi dengan atribut
pelarangan riba atau bunga. Institusi keadilan melahirkan suatu basis teori profit and
loss sharing menggunakan nisbah bagi hasil. Instrument kemaslahatan melahirkan suatu sistem kebijakan kelembagaan zakat, pelarangan israf serta pembiayaan bisnis halal. Semuanya itu dituntun oleh nilai falah (bukan dari utilitarianisme dan rasionalisme). Ketiga dasar tersebut, yakni filosofi religiusitas, institusi keadilan serta instrumen kemaslahatan adalah aspek-aspek dasar yang membedakan dengan mainstream ekonomi konvensional.
Secara etimologis, mudharabah berasal dari akronim, yaitu “Ad-dhorbu fi’l ardhi” bermakna berpergian untuk berdagang. Dalam bahasa Arab, mudharabah berasal dari kata “dhoroba” yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian untuk memukul atau berjalan ini lebih tepatnya proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah termasuk dalam kategori syirkah, yaitu kerjasama dengan cara sistem bagi hasil. Di dalam al–Qur’an, kata mudharabah tidak disebutkan secara jelas, tetapi al–Qur’an menyebutkan secara musytaq dari kata dhoroba yang diulang sebanyak 58 kali. Sinonim kata dhoroba adalah qiradh berasal dari kata al-Qardhu atau potongan, pemilik memotong sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan serta memperoleh sebagian keuntungannya.
Definisi mudharabah, yaitu suatu perjanjian usaha di antara shahibul maal dan mudharib, dimana pihak pemilik modal (shahibul maal) menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengelola (mudharib) melakukan pengelolaan atas usaha. Hasil dari usaha bersama ini dibagi sesuai kesepakatan pada waktu akad akan ditandatangani yang dituangkan dalam bentuk nisbah. Apabila terjadi kerugian, bukan penyelewengan ataupun keluar dari kesepakatan, maka pihak pemilik modal akan menanggung kerugian manajerial skill, waktu dan kehilangan nisbah keuntungan bagi hasil yang akan diperoleh. Keabsahan dari transaksi al-mudharabah didasarkan pada beberapa dari nash al–Qur’an dan Sunnah. Secara umum, landasan dasar al-mudharabah mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an:
“Jika kamu dalam perjalanan (bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan dipegang oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai menunaikan amanah (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, serta janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa batinya dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah Ayat 283).
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertegas tentang perjanjian:
“Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. Yang demikian itu dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukumhukum menurut yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Maaidah Ayat 1).
Surat ini diawali dengan peringatan kepada kaum Muslimin supaya setia kepada perjanjian. Perintah ini segera disusul dengan perincian tentang hal ibadah haji, makanan, hubungan persahabatan dengan umat lain dan pengumuman bahwa agama dibuat sempurna dalam Islam. Surat ini terdapat ayat yang diturunkan lebih belakang dari ayat lain tanggal dapat ditentukan dengan pasti. Ayat dimaksud adalah ayat ketiga menerangkan sempurnanya agama Islam. Dapat dipastikan bahwa ayat ini diturunkan pada waktu Nabi Muhammad menjalankan ibadah haji terakhir pada tahun Hijrah ke-10.
Menghormati segala perjanjian, kontrak, persetujuan, yang sama-sama tercakup dalam kata “uqud”, jamaknya kata ‘aqd yang artinya ikatan dan menghormati segala peraturan Allah yang dibuat untuk kesejahteraan individu dan masyarakat merupakan kewajiban nomor satu pada hubungan sosial. Kata dari “uqud” mencakup pula perjanjian ditetapkan Allah SWT serta persetujuan bersama dibuat oleh manusia. Jadi, di sini manusia diajarkan supaya menghormati undang-undang agama maupun undang-undang dunia.
أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال : ثلاث فيهن البركة : البيع إلى أجل، والمقارضة، وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيع (رواه ابن ماجة عن صهيب)
Rasulullah bersabda, “Ada tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) serta mencampurkan antara gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”
Diriwayatkan dari Daruquthni, Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan “harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, jangan dibawa menyeberangi sungai. Apabila kamu lakukan salah satu dari larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku”. Mudharabah menurut Ibn Hajar bahwasanya telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau tahu dan mengakui, bahkan sebelum diangkat menjadi seorang Rasul, Muhammad melakukan qiradh, yaitu dengan Muhammad mengadakan perjalanan ke Syam menjual barang-barang milik Khadijah yang kemudian menjadi istri beliau.
كان سيدنا العباس بن عبد المطلب إذا دفع المال مضاربة اشترط على صاحبه أن لا يسلك به بحرا’ ولا ينزل به واديا، ولا يشتري به دابة ذات كبد رطبة، فإن فعل ذلك ضمن ، فبلغ شرطه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فأجازه (رواه الطبراني في الأوسط عن ابن عباس)
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan hartanya sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya untuk tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah dan tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan dilanggar, maka mudharib harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”
Hadits riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas merujuk kepada keabsahan melakukan transaksi mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian dalam mudharabah selalu dijadikan acuan para fuqaha (ahli fiqh). Hadits ini menunjukkan bahwa praktik dari pembiayaan mudharabah, khusus mudharabah muqayyadah karena shahibul maal sebagai penyedia dana memberikan beberapa syarat kepada mudharib untuk mengelola dana tersebut. Isi hadits ini jelas sekali memberikan legalitas praktik pembiayaan mudharabah. Menurut hemat penulis, bunga yang ada di perbakan konvensional dapat disiasati dengan mengganti setiap transaksi yang mengandung unusr bunga dengan sistem mudharabah.
Selamat Muliadi
Mahasiswa MSI UII