PARADIGMA KEILMUAN DALAM ISLAM

Di awal abad ke-20, seorang embriolog melakukan penelitian tentang tahap-tahap perkembangan manusia di dalam rahim (embriologi). Sampai pada suatu saat, sang ilmuwan mendapatkan beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang menyinggung secara rinci tahap perkembangan zigot hingga menjadi janin. Ayat yang dimaksud ialah al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 12-14. Pada awalnya sang ilmuwan mengalami kesulitan dalam memahami ayat karena kerancuan dalam penerjemahan bahasa. Namun kemudian, Kerajaan Saudi Arabia membantu menyediakan terjemah ayat yang lebih teliti. Dengan panduan ayat al-Qur’an tersebut yang sejalan dengan observasinya, dirumuskanlah konsep embriologi modern.

Dalam buku berjudul Human Development as Described in the Qur’an and Sunnah (2000), profesor anatomi dan biologi sel di University of Toronto tersebut beserta peneliti lain menyatakan bahwa sebelum abad ke-20, penelitian embriologi sulit dilakukan karena keterbatasan teknologi. Saat itu tidak ada literatur yang menjelaskan tahap-tahap perkembangan janin secara rinci. Namun belasan abad yang lampau Alquran telah menjelaskan tahap demi tahap perkembangan embrio yang merepresentasikan temuan terkini di bidang embriologi. Di buku ini dijelaskan tahap demi tahap embriologi menurut Alquran yang selaras dengan penemuan mutakhir. Salah satu kalimat konklusif di buku tersebut ialah, “The Qur’anic descriptions are clear indications that this knowledge came to Muhammad (peace and blessings be upon him) from God” (Zindani et al., 2000).

Penelitian fenomenal ini pula yang kemudian mengantarkan ilmuwan tersebut, yaitu Keith L. Moore untuk tunduk menerima Islam. Hingga saat ini karya beliau terus digunakan di pendidikan dokter modern, di antaranya buku embriologi The Developing Human dan buku anatomi Clinically Oriented Anatomy.

Perumusan konsep embriologi menurut al-Qur’an dan as-Sunnah oleh Keith L. Moore bukan hanya menambah khazanah ilmu pengetahuan. Tidak kalah penting, fenomena ini mengetuk hati kita untuk menilik kembali cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan. Fenomena tersebut seakan sebuah mutiara di tengah lumpur yang kelam. Sulit dipungkiri bahwa saat ini agama disingkirkan dari pengembangan ilmu pengetahuan.

Paradigma Keilmuan dalam Islam

Bagaimana cara Islam memandang ilmu pengetahuan? Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara tradisi Islam dan tradisi sekuler dalam memandang ilmu pengetahuan. Dalam tradisi Islam, sebagaimana dibahas dalam ushul fiqih, ada dua garis besar ilmu, yaitu 1) ilmu makhluk dan 2) ilmu Allah Ta’ala.

Prof. Wahbah Zuhaili dalam kitab beliau yang fenomenal, yaitu Tafsir Al-Munir menjelaskan konsep ilmu manusia dan makhluk lainnya sebagai bekal dalam kehidupan ini. Saat menjelaskan tafsir surat al-Fatihah ayat 6 beliau menerangkan bahwa makhluk memiliki lima tingkatan ilmu.

  1. Fitrah atau ilham

Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh hewan mamalia yang baru saja dilahirkan oleh induknya. Dia akan segera mendekat untuk menyusu kepada induknya. Inilah ilham yang Allah Ta’ala tanamkan kepada hewan.

  1. Panca indera

Panca indera dimiliki oleh hewan dan manusia. Bahkan pada awal kehidupan, panca indera hewan lebih berfungsi daripada manusia.

  1. Akal

Dengan akal inilah manusia mengelola informasi yang diterima oleh panca inderanya. Dengan akal manusia menelurkan konsep-konsep dan pemikiran yang berpengaruh ke tingkah laku dan peradabannya sebagai manusia. Maka dengan akal inilah peradaban manusia berkembang dan tidak statis sebagaimana hewan.

  1. Hidayah agama

Akal manusia memiliki keterbatasan. Terlebih lagi, akal sering dikaburkan dengan keinginan hawa nafsu. Hal ini membuat manusia rentan melakukan kesalahan dalam tingkah lakunya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan panduan baku yang bersih dari polusi hawa nafsu. Ialah hidayah/ilmu agama. Ilmu agama berasal dari Allah Ta’ala dan terbebas dari hawa nafsu, subhanallah. Ilmu agama sudah pasti kebenarannya, dan seharusnya digunakan oleh makhluk untuk mengatur tingkah lakunya.

  1. Hidayah taufik

Banyak orang mendapatkan nasihat dan arahan agama. Namun pada kenyataannya, seringkali manusia berpaling dari ilmu yang telah datang kepadanya tersebut. Hal ini terjadi karena tidak semua manusia mendapatkan hidayah taufik dari Allah Ta’ala. Taufik adalah kecocokan hati seseorang untuk tunduk dan menerima nasihat/ilmu agama yang datang kepadanya. Inilah hidayah yang sering kita minta dengan lafadz ihdinash shirathal mustaqim.

Inilah perbedaan besar antara paradigma ilmu sekuler dengan paradigma ilmu peradaban Islam. Paradigma sekuler mengingkari keberadaan “ilmu Tuhan”. Mereka menganut empirisme untuk mengakui ilmu. Empirisme adalah suatu prinsip bahwa semua pengetahuan didapatkan dengan pengalaman. Apa yang tidak dialami atau tidak bisa dijelaskan dengan akal mereka, tidak diakui sebagai ilmu. Pada akhirnya dibuanglah segala konsep agama dari bahasan ilmu pengetahuan dalam paradigma sekuler.

Hal ini jelas bertentangan dengan pandangan ilmu dalam tradisi Islam. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, hasil olahan akal manusia hanyalah tingkat ketiga dari lima tingkatan ilmu. Adapun ilmu Allah Ta’ala yang sampai kepada manusia sampai pada tingkat keempat dan kelima. Maka ketika seseorang membatasi ilmu dengan empirisme, maka sebenarnya dia membatasi ilmunya hanya sampai pada tingkat ketiga, yaitu tingkat akal.

Pembatasan ilmu hanya sampai ke tingkat akal akan membatasi ilmu itu sendiri. Padahal, banyak informasi dari wahyu yang telah Allah sampaikan namun belum dapat dipahami oleh manusia. Begitu pula pembatasan ilmu dengan empirisme dapat meniadakan keimanan. Demikian karena salah satu rukun iman adalah beriman kepada yang ghaib. Padahal, banyak hal ghaib yang belum dialami oleh manusia. Maka pembatasan ilmu dengan empirisme membuat seseorang mengingkari hal yang ghaib. Pembatasan ilmu dengan empirisme akan meniadakan iman kepada hari akhir karena belum ada manusia di zaman ini yang pernah mengalami kehidupan akhirat.

Oleh karena itulah Islam tidak membatasi ilmu dengan empirisme insani. Dalam Islam, kebenaran bukan hanya apa yang pernah dialami oleh manusia. Selain pengalaman manusia, ada sumber ilmu lain dalam tradisi keilmuan Islam yang disebut dengan khabar shadiq.

Khabar shadiq ialah kabar yang benar, yang didasari oleh sifat-sifat dasar santifik dan agama, yang mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik. Menurut otoritasnya, khabar shadiq dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu 1) otoritas mutlak yang terdiri dari otoritas ketuhanan (Alquran) dan otoritas kenabian (hadits Rasulullah `); 2) otoritas nisbi, yang terdiri dari kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang terpercaya secara umum. Otoritas Alquran dan hadits sebagai sumber ilmu bersifat mutlak. Adapun ilmu dari otoritas nisbi, tentu terdapat syarat dan ketentuan untuk menerimanya sebagai ilmu yang benar. (Salim, 2014; makalah INSIST “Khabar Shadiq Sebuah Metode Transmisi Ilmu Pengetahuan dalam Islam”).

Perbedaan dalam mengambil sumber ilmu tentu berpengaruh terhadap ilmu yang dihasilkan. Maka tidak heran jika banyak pandangan dari peradaban sekuler yang bertentangan dengan Islam. Paradigma sekuler mengambil pandangan dengan berlepas diri dari agama. Maka sangat wajar jika di antara produk pengetahuan sekuler bertentangan dengan agama/kebenaran. Adapun produk keilmuan yang diolah dengan akal manusia yang disertai dengan sinar ilahiyah tentu lebih selaras dengan kebenaran hakiki.

Kesimpulan

Setelah mengikuti uraian di atas, tampaknya kita perlu melihat kembali paradigma keilmuan kita di masa sekarang. Sebagai seorang mukmin yang meyakini Allah Ta’ala Maha Mengetahui, tentu tidak pantas jika kemudian justru mengingkari keilmuan Allah Ta’ala. Tentu aneh jika orang beriman menolak peran agama dalam dinamika ilmu pengetahuan. Justru agama adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan yang hakiki.

Oleh karena itulah sebagai manusia yang selalu mengolah produk keilmuan, khususnya akademisi muslim, sudah sepantasnya mengikuti paradigma keilmuan Islam. Dengan paradigma Islam, semakin banyak sumber ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan. Dengan paradigma Islam, semakin banyak produk ilmu yang dihasilkan untuk maslahat manusia. Pada akhirnya, dengan paradigma keilmuan Islam muncullah produk-produk ilmu yang hakiki, bukan pengetahuan keliru yang disusun dengan pencemaran hawa nafsu dan keterbatasan akal. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Afif Azharul F