Apakah Wajib Vaksin?
Apakah Wajib Vaksin?
Oleh: Elisa Indah Wijaya S.E.
Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,
Di masa pandemi seperti saat ini masih banyak kita temui orang atau sekelompok orang yang berbeda pendapat tentang vaksin terutama vaksin covid-19 baik Sinovac maupun Astra Zenica yang saat ini digunakan di Indonesia. Perbedaan seperti ini kadang juga menimbulkan situasi yang panas bahkan menimbulkan percekcokkan baik di antara warga maupun di grup media sosial.
Waktu belakangan ini marak seruan antivaksinasi bermotifkan isu agama. Isu yang dihembuskan adalah menyangkut kehalalan dan keamanan vaksin. Hal-hal semacam ini membuat kita bingung apalagi sebagai orang awam tentunya akan mudah sekali terprovokasi.
Hingga sekarang muncullah varian covid-19 yang baru, varian Delta yang sangat cepat penularannya yaitu 6x lebih cepat dari varian sebelumnya. Banyak sekali dari tetangga, saudara, keluarga bahkan kita sendiri yang harus berhadapan dengan virus maut ini. Beragam gejala yang dirasakan dari ringan hingga berujung kematian. Setiap hari selalu saja ada berita kematian yang membuat diri kita semakin sadar untuk melindungi diri, dengan taat prokes dan tentunya memperbanyak doa memohon perlindungan kepada Allah. Dengan munculnya varian Delta ini, kita lihat betapa masyarakat mulai berduyun-duyun untuk melakukan vaksinasi.
Sebelum kita membahas tentang wajib atau tidaknya vaksin, sebelumnya mari kita bahas mengenai pengertian vaksin.
Pengertian Vaksin
Nah sebenarnya vaksin itu apa? Menurut KBBI vaksin adalah bibit penyakit (misalnya cacar) yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi.
Jadi pada dasarnya pemberian vaksin merupakan cara untuk menjaga kesehatan. Orang yang sudah mendapatkan vaksin kemungkinan rawat inap dan kematian yang parah bisa dihindari
Hukum Vaksin
Lalu bagaimana hukum vaksin covid-19 menurut islam, wajib, sunah, makruh atau haram?
Menurut Ma’ruf Amin selaku Wakil Presiden RI hukum vaksin dalam Islam yakni fardu kifayah. Fardhu Kifayah adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh suatu kaum/ sekelompok orang di lingkungannya yang apabila dilakukan oleh salah satu orang maka gugur kewajiban individu yang lain untuk melakukan.
Vaksinasi covid-19 saat ini sangat bermanfaat untuk menjaga agar terhindar dari penyakit dan tercapainya herd immunity, sehingga hukumnya wajib.
Adakah dalil dari al-Qur’an atau Hadits Nabi yang khusus menyebutkan pentingnya vaksinasi? Jawabannya tentu tidak ada.
Islam hanya mengajarkan rambu-rambu yang bersifat umum dan baku, seperti larangan berobat dengan yang haram, larangan berobat ke dukun atau ahli sihir namun mengenai hal-hal yang bersifat teknis sepenuhnya diserahkan kepada perkembangan ilmu sains sesuai perkembangan zamannya.
Berikut beberapa hadits dan ayat Qur’an yang menunjukkan bahwa Islam sangat menganjurkan aspek pencegahan terhadap penyakit
Dari Ibnu ‘Abbas c, Nabi n bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (H.R. Bukhari no. 6412)
Dari Ibnu ‘Abbas c, Rasulullah n pernah menasehati seseorang,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: 1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, 2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, 3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, 4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, 5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (H.R. Al-Hakim dalam Al-Mustadroknya 4: 341.)[1]
Untuk menghadapi wabah, Nabi n mengajarkan dalam hadits dari Usamah bin Zaid a, dari Nabi n, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الطَّاعُونَ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأرْضٍ، وأنْتُمْ فِيهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا. متفق عَلَيْهِ
“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (H.R. Bukhari, no. 3473 dan Muslim, no. 2218)
Dari Abu Hurairah a, beliau berkata, Rasûlullâh n bersabda,
اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan.” (H.R. Muslim no.2664)[2]
“dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (Q.S. al Anfâl [8]: 60)
Jadi sangat jelas disini bahwa masalah vaksinasi untuk pencegahan penyakit sangat dianjurkan dalam islam. Untuk hukum vaksin covid-19 dari Sinovac, MUI mengeluarkan fatwa yakni halal dan suci.
“Kemudian terkait dengan aspek kehalalan, setelah dilakukan diskusi yang cukup panjang dari hasil penjelasan dari tim auditor, maka komisi fatwa menyepakati bahwa vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh Sinovac yang diajukan oleh Bio Farma hukumnya suci dan halal, ini yang terkait dengan aspek kehalalannya,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa dan Urusan Halal, Asrorun Niam Sholeh, melalui akun YouTube TV MUI, Jumat (8/1/2021).
Untuk hukum vaksin COVID-19 dari AstraZeneca, MUI mengeluarkan fatwa yakni haram dan boleh digunakan karena darurat.
Salah satu ajaran mazhab Syafi’iyyah yaitu: “Tidak ada penerapan istihalah pada babi” (atau bahasa lepasnya: Tidak ada ampun buat babi). Penggunaan enzim katalisator pada vaksin, meskipun sudah tidak menggandung babi lagi tetap saja haram, karena tidak berlaku istihalah pada babi.
Mayoritas dewan fatwa dunia dan internasional berfatwa bahwa vaksin dengan prinsip katalisator dari babi itu MUBAH karena sudah tidak ada lagi pada hasil akhir dengan menggunakan prinsip istihalah dan istihlak.
Istihalah adalah sebutan dalam bahasa yang berarti perubahan. Dalam beberapa kitab, ulama-ulama fiqih mendefinisikan istihalah dengan makna perubahan wujud suatu benda dari satu bentuk dengan sifatnya kepada bentuk lain dan dengan sifat yang berubah juga.
Jadi jika tulang dan daging babi berubah menjadi garam, maka yang dihukumi sekarang adalah garamnya. Garam tentu saja berbeda statusnya dengan tulang dan daging babi yang sebelumnya bersatatus haram.
Istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lain yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak, sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna, maupun baunya.
Ada dua hadis yang menjadi dasar teori istihlak ini. Hadis pertama, ‘Air itu suci tidak ada yang dapat menajiskannya’ (HR Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ahmad). Hadis kedua, ‘Jika air telah mencapai dua kulah, tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis)’ (HR Daruqutni dan Al-Darimi)
Kalau kedua teori di atas (istihalah dan istihlak) tidak mau kita terima, maka ada satu teori tersisa yaitu teori darurat. Dasarnya adalah ayat di bawah ini: “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) padahal ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas maka ia tidak berdosa.” (Q.S. al-Baqarah [2]:173).
Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua. Jangan menganggap remeh covid-19. Bagi anda yang mantap untuk vaksin bersegeralah vaksin. Semoga pandemi ini segera berakhir, Aamiin ya Rabbal Alamin.
Wallahu a’lam bish-shawab
https://health.detik.com/berita–detikhealth/d-5333014/hukum–vaksin–dalam–islam–bagaimana–penjelasannya
https://muslimafiyah.com/terkait–vaksin–astrazeneca–dan–fatwa–haram–mui.html
https://rumaysho.com/2025-hukum–vaksinasi–dari–enzim–babi.html
https://islam.nu.or.id/post/read/94796/soal–vaksin–mengenal–tiga–teori–fiqih–istihalah–istihlak–dan–darurat
[1] Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim namun keduanya tidak mengeluarkannya. Dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih) https://rumaysho.com/5022-manfaatkanlah-5-perkara-sebelum-menyesal.html
[2] Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366, 370); Ibnu Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627); at-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 356). https://almanhaj.or.id/12492-mukmin-yang-kuat-lebih-baik-dan-lebih-dicintai-oleh-allah-subhanahu-wa-taala-2.html