HUKUM UCAPAN SELAMAT NATAL BAGI MUSLIM

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, sebab ia terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Namun, ada kalanya kemajemukan ini menimbulkan polemik tertentu pada masyarakat. Di antaranya adalah terkait hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Nasrani (kristiani). Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, maka penulis akan mengulas hukum ucapan selamat natal dengan menggunakan perspektif fiqih yang akan dikaitkan juga dengan akidah dan akhlak.

 

Dasar Pemahaman

Kita tidak akan menemukan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah secara spesifik untuk dapat menyimpulkan hukum ucapan selamat Natal. Sebab, di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Polemik ini terjadi di era kontemporer, dimana ia muncul karena keinginan sebagian umat Islam yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya kepada non-Muslim.

Maka, karena ia tidak ditemukan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang secara tegas menghukuminya, kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi. Hakikatnya, jumhur ulama (mayoritas ulama) dari 4 madzhab besar dalam ilmu Fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) telah sepakat akan keharaman pengucapan selamat Natal kepada umat Nasrani. Namun, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut dikarenakan kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi.

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama kontemporer, disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadits yang kiranya terkait dengan kasus ini. Contohnya perbedaan sikap yang diambil oleh para ulama kontemporer seperti Ibn Baz, Ibnu ‘Utsaimin, Ali Jum’ah, Yusuf al-Qardhawi, Habib Ali Aljufri, Buya Hamka, dan ulama kontemporer lainnya.

 

Dasar Hukum yang Membolehkan

Para ulama yang memilih sikap untuk membolehkan ucapan selamat Natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah ldi dalam surat al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8)

Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (HR. al-Bukhari no. 1356, 5657)

Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Sehingga mengucapkan selamat Natal yang merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim pun diperbolehkan, walaupun bukan dalam keadaan darurat. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu Akidahnya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak mendukung keyakinan umat Nasrani tentang kebenaran peristiwa natal.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya.

 

Dasar Hukum yang Mengharamkan

Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah subhanahu wa ta’ala di dalam surat al-Furqan ayat 72, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al-Furqan [25]: 72)

Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya umat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, no. 4031).

Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewanti-wantiumat Islam terhadap perbuatan tasyabbuh terhadap non-muslim. Dalam kaidah Bahasa Arab (tepatnya adalah ilmu Shorof), kata tasyabbuh berasal dari wazan Tafa’ul, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), dan juga tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki faidah perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa/ikut-ikutan dengan perbuatan tersebutsampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum maka ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu,hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga, sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.

Dengan demikian, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani berarti telah melakukan tasyabbuh sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat kristiani tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Atas dasar inilah hukum ucapan tersebutdiharamkan secara tegas.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Ibn Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya.

 

Kesimpulan

Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.

Apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap mengharamkannya, kita serta merta langsung menjustifikasi ia sebagai orang yang intoleransi.

Apabila kita memilih sikap untuk mengharamkannya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah kita dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antar umat beragama dengan bentuk yang berbeda. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap membolehkannya, kita bermudah-mudahan dalam menjustifikasi ia sebagai orang kafir.

Sikap apapun yang dipilih, mari senantiasa kita menjaga persatuan umat Islam diantara perbedaan yang ada. Pada akhirnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala pada yaumul hisab (hari kiamat).

 

Sikap Penulis

Penulis lebih memilih sikap tidak memperkenankan mengucapkan ucapan selamat natal kepada umat Nasrani dengan tetap menghormati para ulama yang membolehkannya. Sikap tersebut penulis pilih berlandaskan kaidah saddud dzari’ah terhadap madharat yang akan terjadi apabila memilih sikap membolehkannya. Sebab dalam syariat Islam ada kaidah Dar’u al-Mafasid Muqoddamun ‘ala Jalbi al-Mashalih (Menolak mudharat lebih diprioritaskan dari mengambil manfaat). Madharat dari pembolehan pengucapan selamat Natal ini adalah adanya kompromi antara tauhid dengan syirik serta kesaksian palsu dan pembenaran keyakinan umat kristiani tentang peristiwa Natal. Kaum muslimin di Indonesia tidak mengucapkannya pun, tidak akan terganggu dikarenakan sikap statis tersebut. Sebab umat Islam masih akan tetap berbuat baik dan mampu bertoleransi kepada mereka walau dalam aspek yang lain.

  

Saiful Aziz al-Bantany

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

  

 

Disarikan dari berbagai referensi:

Abu Daud, Sunan Abi Daud.

Al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih.

Al-Qur’an al-Karim.

Audio Fatwa Ibnu Baz.

Ayman Harusy, Hukmu Tahniah al-Kuffar bi A’yadihim.

Buya Yahya & Habib Ali Al-Jufri : Ucapan Selamat Natal, Pendidikan Indah & Cinta dalam Perbedaan, Kajian Video Youtube Channel Al-Bahjah TV (06 Desember 2019).

Darul Ifta’ al-Mishri.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’

Hal Naqulu li Ikhwatina al-Masihiyyin …, | Alhabib Ali Aljifri , Kajian Video Youtube Channel Alhabib Ali Aljifri (24 Desember 2018).

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Juz 2 & 3.

Ibnul Qoyyim, Ahkam Ahli Dzimmah.

Alkitab Kristen.

Koran Suara Pembaruan, 20 Desember 2003: Harlah, Natal dan Maulid.

Program Tafsir Al Misbah di Metro TV, Ramadhan 1435 Hijriah episode Surah Maryam Ayat 30-38.

Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka.

Sulaiman Shalih al-Kharasyi, Al-Qardhawi fi al-Mizan.

Tanya Jawab : Hukum Mengucapkan “Selamat Natal” Haram? Ustadz Adi Hidayat, Lc., Kajian Video Youtube Channel Media TAQWA (29 April 2018).

Tahniah Ghairul Muslimin bi A’yadihim | Dr. Ali Gomaa, Kajian Video Youtube Dr Ali Gomaa (06 Januari 2018).

Dan referensi lainnya.

 

 

Mutiara Hikmah,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Q.S. al-Kafirûn [109]: 6)