Bekerja (Sebuah Refleksi)
Bekerja
(Sebuah Refleksi)
Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.[1]
“Kalau semua orang menjadi petani, lalu petani menjadi apa?” Demikian tebak-tebakan yang pernah saya dapatkan dan sering saya tanyakan ke teman-teman. Dalam konteks perkuliahan, pertanyaan itu bisa disesuaikan menjadi, “Kalau semua orang menjadi dosen, lalu dosen menjadi apa?” Bila ditarik dalam dunia peradilan dan keadilan hukum maka pertanyaannya menjadi, “Kalau semua orang menjadi hakim, lalu hakim menjadi apa?”
Beragam jawaban bisa dikedepankan dalam konteks pertanyaan atau tebak-tebakan di atas. Karena hanya sekadar tebak-tebakan maka jawabannya juga disiapkan supaya tidak “tertebak”. Lalu, apa jawabannya? Jawabannya adalah: kalau semua orang menjadi petani maka petani menjadi banyak (jumlahnya). Begitu juga dengan dosen dan hakim. Kedua profesi itu menjadi banyak bila semua orang menjadi dosen atau hakim.
Tebak-tebakkan di atas nampaknya sederhana. Namun bila ditelaah lebih dalam, hal itu sebenarnya memberikan gambaran tentang pilihan-pilihan profesi kehidupan. Bahwa pada akhirnya siapapun kita boleh memilih profesi tertentu untuk ditekuni. Namun yang pasti mustahil rasanya bila semua orang menekuni 1 profesi saja. Pos-pos profesi yang ada—cepat atau lambat—pasti (akan) terisi secara proporsional. Dengan kata lain, apapun profesi kita sebenarnya kita sedang berbagi tugas.
Lalu, sebenarnya pekerjaan atau profesi kita itu semata-mata pilihan atau takdir? Tentu saja relatif karena pada mulanya kita memang memilih. Namun pada akhirnya di balik ikhtiar-ikhtiar kemanusiaan itu akan berhadapan dengan ketentuan-Nya. Bila sudah berusaha dan berhasil itulah sunnatullah. Adapun bila sudah berusaha namun gagal itulah takdir. Terpenting adalah bagaimana menjadikan apapun pekerjaan kita sebagai media untuk menggapai keridhaan-Nya.
Dalam banyak hal seringkali profesi tertentu dianggap lebih mulia dibanding profesi lainnya. Secara lahiriah mungkin iya. Namun dalam kacamata batiniah (spiritual) boleh jadi tidak. Sebab yang menjadikannya besar atau kecil nilai sebuah profesi adalah niatnya. “Kam min ‘amalin shaghirin tukabbiruhu an-niyyah…” Betapa banyak pekerjaan yang sepele namun menjadi besar karena niatnya. Sebaliknya, banyak pekerjaan besar yang menjadi kecil karena niatnya (yang salah).
Karena itulah, apapun profesi dan pekerjaan kita haruslah disyukuri dan dimulai dengan niat yang baik. Dengan niatan yang mulia maka seluruh peluh yang keluar akibat bekerja tersebut akan diganjar dengan kebaikan. Niatan yang mulia tersebut juga mendorong kita untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Selaras dengan itu, juga mencegah kita untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Dengan cara tersebut maka hasil yang didapat dari pekerjaan dimaksud merupakan rezeki yang halal.
Dikotomi antara amalan dunia dan akhirat seringkali menjadikan sebuah profesi seolah hanya sebagai amalan duniawi. Padahal, kalau benar niatnya bekerja itu adalah juga ibadah yang luar biasa pahalanya. Ditambah lagi dengan ketika rezeki halal yang didapat dari bekerja tersebut digunakan untuk menafkahi keluarga (anak dan isteri). Tentu semakin istimewa nilainya. Dengan begitu, bekerja adalah wasilah untuk mendapatkan keridhaan-Nya.
Ada sebuah hadits yang mudah diingat dan menjadi pengingat sekaligus penyemangat bagi kita. “Dinar (harta) yang kamu belanjakan di jalan Allah dan dinar (harta) yang kamu berikan kepada seorang budak wanita, dan dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin, serta dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu. Maka yang paling besar ganjaran pahalanya adalah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (HR Muslim).
Betapa kemudian menafkahkan harta untuk keluarga (khususnya keluarga kecil dan tidak terkecuali keluarga besar) adalah suatu keutamaan. Hal ini tidak menjadi justifikasi bahwa menafkahkan harta untuk orang lain yang bukan keluarga adalah tidak penting. Semuanya penting dan utama namun bila dihadapkan dengan sebuah pilihan maka keluargalah yang harus menjadi prioritas. Bila keduanya berjalan seimbang itulah tujuan yang jangan ditinggalkan (ghayatun la tutrak).
Tidak dipungkiri bahwa dalam bekerja muncul rasa bosan atau malas. Dalam rangka mengatasinya maka kita kembalikan kepada niat awal bekerja yaitu dalam rangka ibadah dan mencari keridhaan Allah. Bila masih saja rasa bosan dan malas itu ada maka tidak ada salahnya istirahat sejenak, mencoba hal baru, untuk kemudian kembali menekuni pekerjaan kita. Sebagai antisipasi jangka panjangnya, sertakan dalam untaian doa usai shalat agar dihindarkan dari rasa malas.
Bijak pandai menasihatkan, kerjakan apa yang dicintai dan cintai apa yang dikerjakan. Bagaimana bila kita harus mengerjakan sesuatu yang tidak disukai? Tenang, sebab witing tresno jalaran soko kulino. Semua itu proses dan penuh usaha. Ketika muncul rasa tidak suka atas pekerjan tertentu kita harus ingat bahwa di luaran sana banyak orang yang menginginkan pekerjaan tersebut. Pekerjaan yang kita keluhkan adalah pekerjaan yang orang lain idamkan. So, nikmati dan syukuri!
Ada sebuah doa yang barangkali relevan untuk menguatkan kita atas pekerjaan yang ditekuni. “Allahumma inna nas-aluka hubbaka…” Ya Allah, kami mohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu. “…wa hubba man yuhibuka…” Dan cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu.
“…wa kulla ‘amalin yuqarribuna ila hubbika.” Dan setiap amalan yang mendekatkan kami kepada rasa cinta kepada-Mu. Rutinkan doa tersebut dan mudah-mudahan Allah mengijabah. Aamiin…
Dalam beberapa kesempatan boleh jadi kita merasa sombong dengan apa yang kita kerjakan. Seolah kita lah yang paling hebat, paling mulia dari yang lain. Perasaan semacam ini adalah bumerang karena menjadikan kita stagnan dan enggan meningkatkan kualitas diri. Selain itu menjadikan kita mudah untuk merendahkan yang lain. Padahal tidaklah seorang itu hebat kecuali ditopang oleh banyak pihak. Dan mesti diingat bahwa semua itu titipan dan sementara.
Saya teringat cerita Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum (Ketua Komisi Yudisial). Ia yang gajinya puluhan juta itu biasa naik angkot dan ojek online. Apa alasannya? Karena ia menyiapkan level hidup ketika nanti tidak lagi menjadi Ketua Komisi Yudisial dan kembali mengajar menjadi dosen biasa. Ia turunkan gaya hidupnya di saat berada di puncak karirnya. Inilah pelajaran penting bagi siapapun kita saat ini. Bahwa status yang serba sementara jangan menjadikan tinggi hati.
Dimanapun saat ini kita bekerja, semoga ridha Allah yang menjadi tujuannya. Yang menjadi pimpinan tidak lalu merasa tinggi. Yang menjadi bawahan tidak lantas merasa rendah diri. Peci yang murah bahkan gratis sekalipun pasti tinggi karena letaknya di kepala. Sandal yang paling mahal sekalipun menjadi “bawahan” dan dinjak-injak. Harga tidak ditentukan posisi. Tetapi kesadaran dan keikhlasan untuk berkontribusi dengan sebaik mungkin dalam posisi apapun itulah yang terpenting. []
[1] Penulis adalah Calon Hakim Pengadilan Agama (PA) Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan. Saat ini sedang menjalani proses magang dalam rangka Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim (PPC) Terpadu Angkatan III di PA Kabupaten Malang Kelas 1A. Sosok yang gemar bermain tenis ini menyelesaikan S-2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jenjang S-1, ia peroleh di UII Yogyakarta. Selama menempuh pendidikan sarjana, ia tinggal dan nyantri di Pondok Pesantren UII.