ULIL AMRI DAN WAJIBNYA TAAT KEPADANYA DALAM KEBAIKAN
Siapa yang dimaksud Ulil Amri?
Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya, “Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan qawanin wadh’iyyah (hukum buatan manusia)?”Beliau menjawab: “Allah berfirman: (yang artinya) “Dan ulil amri di antara kalian” (Q.S. An Nisâ’ [4]: 59). Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika dia penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati (Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13289).
Di sini beliau menjelaskan bahwa ulil amri itu setiap penguasa muslim secara mutlak baik diangkatnya secara syari’i atau pun tidak sesuai syari’at. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri itu hanya bila diangkat bila sesuai syariat saja adalah pendapat yang tidak memiliki pendahulu bahkan ia adalah pendapat yang diada adakan. Justru para ulama bersepakat bahwa orang yang menjadi pemimpin karena menang dalam revolusi maka ia wajib ditaati. Al-Hafidz Ibnu Hajar v berkata, “Para fuqaha telah berijma’ akan wajibnya menaati penguasa yang menang (dengan senjata) dan berjihad bersamanya. Dan bahwa menaatinya lebih baik dari memberontak kepadanya. Karena yang demikian itu lebih mencegah terkucurnya darah dan menenangkan kekacauan” (Fathul Baari 13/7).
Padahal memberontak itu tidak sesuai syariat, namun ketika ia menjadi penguasa dengan cara seperti itu, tetap ditaati dan dianggap sebagai ulil amri. Ini menunjukkan bahwa walaupun tata caranya tidak sesuai syariat, maka tetap ditaati sebagai ulil amri. Ini juga ditunjukkan oleh hadits, “Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia seorang hamba sahaya habasyah” (HR. At Tirmidzi)
Dalam pemilihan pemimpin secara syariat, hamba sahaya tak mungkin menjadi pemimpin karena semua ulama menyatakan bahwa syarat pemimpin adalah merdeka dan bukan hamba sahaya. Bila ia menjadi pemimpin pasti dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat. Namun Nabi ` tetap menyuruh kita untuk menaatinya. Nabi ` juga mengabarkan akan adanya pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Beliau bersabda, “Nanti setelah aku akan ada pemimpin pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak pula melaksanakan sunnahku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka” (H.R. Muslim no. 1847).
Hadits ini tegas menunjukkan bahwa walupun mereka tidak mengambil petunjuk nabi dan sunnahnya, tetap harus ditaati dalam hal yang ma’ruf. Ini sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa bila pemimpin itu berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak disebut ulil amri. Hadits ini juga membantah orang yang mengkafirkan setiap penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak. Namun bukan berarti kita menyetujui perbuatan mereka. Wallahu a’lam.
Wajib Baiat Kepada Ulil Amri
Baiat ialah perjanjian untuk mendengar dan taat kepada pihak yang berkuasa atas urusan kaum muslimin (ulil amri). Baiat berlaku bagi setiap orang yang berada di dalam kekuasaannya. Menjaga janji dalam baiat hukumnya wajib, Allah l berfirman, “Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar janjinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar” (Q.S. al Fath [48]: 10).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 1851), dari Abdullah ibn Umar k, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa melepas tangannya (baiatnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.”Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) v, sebagaimana dalam Ushul As Sunnah hal. 64, berkata, “Wajib mendengar dan menaati para pemimpin dan amirul mukminin yang baik maupun yang fajir (berbuat kerusakan). Wajib pula menaati pemegang kuasa suatu kekhilafahan, dan setiap pemimpin yang disepakati oleh masyarakat, ataupun penguasa yang mengalahkan suatu wilayah dengan pedang (peperangan) hingga ia menjadi khalifah yang disebut amirul mukminin di wilayah tersebut.”
Mentaati Pemimpin dalam Kebajikan
Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Di antaranya Allah l berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 59)
Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada Allah.
Karena terdapat hadits Nabi ` dari Hudzaifah bin Al Yaman. Beliau ` bersabda, “Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)
Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.” Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah l oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at. Rasulullah ` bersabda, “Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)
Rasulullah ` juga bersabda, “Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)
Bersabarlah Terhadap Pemimpin yang Zhalim
Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zhalim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezhaliman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah l tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita. Perhatikanlah firman Allah l berikut, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura [42] : 30)
Allah l juga berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Q.S. al-An’am [6]: 129)
Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezhaliman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman.
Musta’in Billah
Mahasiswa Ilmu Kimia
FMIPA UII
Referensi :
Disarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Arba’in An Nawawiyah, hal. 279, Daruts Tsaroya)
Lihat Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 381, Darul ‘Aqidah
Dikutip dari https://muslim.or.id/28789-siapa-yang-dimaksud-dengan-ulil-amri.html
Dikutip dari https://muslim.or.id/26277-wajibnya-baiat-kepada-ulil-amri.html
Dikutip dari https://rumaysho.com/3111-taat-pada-pemimpin-yang-zalim.html
Mutiara Hikmah
Rasulullah ` berpesan,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَ اْلسَّمْعِ وَ اْلطَّاعَةِ وَ إِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Aku wasiatkan kepada kalian dengan taqwa kepada Allah dan mendengar serta taat (kepada pemimpin) sekalipun dia adalah budak Habsyi (orang hitam)” (HR. Ahmad 17144, Abu Dawud 4607, Turmudzi 2676 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).