KAMU (DIANGGAP) BAIK KARENA ALLAH MENUTUPI AIBMU!
اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ
“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka. (H.R. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/228, no.4876. Lihat Jâmi’ul Ahâdits, Jalaluddin As-Suyuthi, 25/145, Asy Syamilah)
Tidak ada manusia di dunia ini yang luput dari kesalahan dan kekhilafan. Mari kita mengingat kembali kisah Nabi Adam n beserta Hawa o yang memakan buah khuldi, padahal Allah l telah melarangnya. Nabi Yunus sengaja meninggalkan kaumnya karena setelah 33 tahun lamanya berdakwah, tetapi hanya 2 orang saja yang mendengarkan seruannya. Nabi Musa n yang tidak sengaja membunuh orang karena pukulannya. Tentu saja para nabi yang mulia ini bersegera meminta ampunan kepada Allah n. Taubat Nabi Adam n dan Hawa o terekam pada ayat 23 surah al-‘Araf, taubat Nabi Yunus n pada ayat 87 surah al-Anbiya, dan taubat Nabi Musa n pada ayat 15-16 surah al-Qashash.
Mari kita cermati salah satu hadits Rasulullah ` yang berbunyi, “Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (H.R. At Tirmidzi). Hadits ini menjelaskan kepada kita, bahwa sebaiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat, yaitu orang yang berjanji pada Allah l dan dirinya sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut.
Suatu ketika penulis pernah berbincang-bincang dengan seorang kawan. Ia menceritakan betapa orang-orang memandangnya sangat baik. Ia sangat dihormati dan seringkali dimintai pendapat. Padahal ia menyadari bahwa iapun tidak luput dari kesalahan. Kesalahan-kesalahan ini merupakan aib baginya. Sesungguhnya, jika mereka tahu semua aib-aib tersebut, niscaya mereka akan membencinya dan merendahkannya. Lalu kemudian ia bertanya kepada penulis, apakah sebenarnya kita baik karena kita telah berbuat baik, ataukah karena Allah l sampai detik ini masih menutupi aib-aib kita? Berkaca dari percakapan di atas, tentu saja kita sepatutnya bersyukur, karena sampai detik ini Allah l masih menutupi seluruh kesalahan-kesalahan kita dari orang-orang. Akan sangat mudah bagi Allah l untuk membongkar segala aib yang kita miliki, jika Allah l berkehendak. Lalu akan sangat mudah bagi Allah l membalikkan posisi seseorang yang awalnya dipuja-puja, akan tetapi karena aib tersebut ia pun menjadi orang yang direndahkan dan dihinakan.
Pengertian Aib
Menurut al-Fairuz Abadzi dalam Al-Qamus al-Muhith, secara bahasa, aib العيب)) dapat didefinisikan sebagai cacat atau kekurangan. Bentuk jama’nya adalah uyub. Adapun sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab di sebut ma’ib. Dalam Kitab ad-Dur al-Mukhtar, Al-Hasfaki menyampaikan bahwa sebagian ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian: “Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan”
Maka aib dapat diartikan sebuah cela atau kondisi seseorang dilihat dari sisi keburukannya, atau hal yang tidak baik tentangnya. Seringkali kita mendengar suatu informasi dari orang lain lalu menjadikan hati kita merasa tidak enak, maka hal ini dapat disebut aib. Aib dapat berupa peristiwa, keadaan, atau suatu deskripsi. Acapkali aib –sendiri maupun orang lain– tersebut secara tidak sadar kita sebarkan. Lebih parahnya lagi jika aib tersebut disebarkan secara sadar.
Memang pada dasarnya terdapat orang-orang yang diketahui tidak pernah sekalipun berbuat maksiat. Jika didapati ia tergelincir dalam kesalahan, maka dengan rahmat dan kasih sayang Allah l, kesalahan tersebut tidak diungkapkan seketika itu juga. Bahkan Allah l pun memberikan anjuran kepada orang-orang yang mengetahuinya untuk tidak menyingkap dan menceritakannya. Inilah cara Allah menjaga kehormatan hamba-Nya! Entah kesalahan itu disengaja maupun tidak disengaja. Adapun orang-orang yang menceritakan hal yang tidak baik dari saudaranya termasuk pada kategori ghibah. Perbuatan ini sangat dibenci oleh Allah l. Dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (Q.S. an-Nûr [24]: 19)
Aib merupakan sesuatu yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini membawa kepada efek psikologi yang negatif jika tersebar. Manusia tidak bisa lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Manusia harus berintrospeksi dan menghisab diri sendiri untuk memperbaikinya. Umar bin Khaththab a berpesan, “Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab, dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang.”
Muliamu (Mungkin) Bukan karena Kebaikanmu
Seringkali kita meyakini bahwa segala kemuliaan yang kita miliki ini berasal dari usaha kita sendiri. Kita lupa bahwa ada Allah l yang terus menutupi segala aib kita di hadapan manusia. Kita tak sadar akan tersebut, sehingga membuat kita menjadi lupa diri. Ingatlah wahai saudaraku! Mulia yang kau punya ini bisa jadi bukan karena kebaikanmu. Kebaikan yang kita lakukan adalah sesuatu yang memang senyatanya harus diamalkan selama hidup kita. Allah l menjanjikan surge-Nya kelak bagi orang-orang yang selalu melakukan kebajikan selama hidupnya.
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Tentu saja jika mau dibandingkan dengan para nabi yang juga pernah melakukan kesalahan, maka posisi kita mungkin jauh dari kemuliaan mereka. Maka jangan pernah terbesit di hati kita kata sombong dengan segala kemuliaan ini, baik harta, jabatan, tahta, dan yang lainnya. Muhamad bin Wâsi’ v berkata, “Seandainya dosa-dosa itu ada baunya maka tidak seorangpun yang mau duduk bersamaku”
Oleh karena itulah, jangan pernah ujub dengan amalan kita. Jangan pernah terpedaya dengan pujian yang diberikan. Jangan pernah riya dengan kebajikan yang dipebuat. Karena semua itu tidak akan berguna, jika satu aib saja diungkap oleh Allah l. Yakinlah, semua pujian tersebut akan berubah menjadi celaan. Kita akan terpuruk, seterpuruk-terpuruknya. Kita juga akan malu, semalu-malunya. Kita juga akan hina, sehina-hinanya. Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita.Bukankah kita sering mendengar sebuah peribahasa “Hujan sehari menghapus kemarau setahun”, atau peribahasa yang lain, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Penulis yakin bahwa pembaca yang budiman paham maksud dan arti dari kedua peribahasa tersebut.
Sehubungan dengan tema di atas, penulis teringat dengan salah satu ceramah dari Ustadz Salim A. Fillah, yang bercerita mengenai Nabi Yusuf n. Saat itu beliau bertanya kepada jamaah, “Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf?”“Zulaikha,” jawab jamaah serempak. Lalu Ustadz kembali bertanya, “Dari mana kalian tahu bahwa nama perempuan itu adalah Zulaikha? Sedangkan Allah l tidak ada sama sekali menyebutnya dalam al-Qur’an?” Seketika itu juga bergemuruhlah ruangan oleh suara para jamaah yang bertanya satu sama lain. Hingga sebagian menjawab pertanyaan tersebut, “Dari hadits, Ustadz.” Lagi-lagi Ustadz kembali bertanya, “Coba anda pikirkan, mengapa Allah tidak menyebut nama Zulaikha di dalam Al-Qur’an?” Kali ini semua jamaah diam. Maka Ustadz Salim A. Fillah tersenyum dan melanjutkan penjelasannya, “Karena perempuan ini (Zulaikha) masih memiliki rasa malu. Apa buktinya ia masih memiliki rasa malu? Ia menutup tirai sebelum menggoda Yusuf n. Ia malu dan tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya.”
Lihatlah! Allah menutupi aib orang-orang yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan tidak menyebut namanya di dalam al-Qur’an. Subhanallah! Maka perhatikanlah diri kita, mungkin karena masih memiliki rasa malu, maka Allah l tidak membuka identitas kita. Mungkin tidak hanya sekali, namun berulang-ulang kali Allah l telah menutup dosa-dosa kita.
Maka, pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri. Apakah kita Nampak baik di hadapan orang lain? Apakah semua itu karena begitu banyaknya kebaikan yang kita lakukan? Atau karena Allah telah menutupi aib kita?
Epilog
Pembaca yang dirahmati oleh Allah l.
Sebelum menutup tulisan ini, penulis akan menyampaikan doa yang biasanya dibaca Rasulullah ` pada pagi dan petang, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar h:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِى دِينِى وَدُنْيَاىَ وَأَهْلِى وَمَالِى اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِى
“Yaa Allah sesungguhnya aku meminta kepada Mu ‘Afiyah di dunia dan akhirat. Yaa Allah aku memohon kepada Mu ‘‘Afwaa dan ‘Afiyah pada urusan agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku)”
Atau dengan riwayat Ibnu Majah dengan tambahan, yaitu:
اللَّهُمَّ استُر عَوْرَاتي ، وآمِنْ رَوْعَاتي ، اللَّهمَّ احفظني من بَينِ يَدَيَّ ومِن خَلْفي ، وَعن يَميني ، وعن شِمالي ، ومِن فَوقي، وأعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحتي
“Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku), tenangkanlah aku dari rasa takutku. Yaa Allah jagalah aku dari arah depan dan belakangku, arah kanan dan kiriku, serta dari arah bawahku. Aku belindung dengan kebesaran Mu agar aku tidak dihancurkan dari arah bawahku”
Semoga Allah l mengampuni dosa-dosa kita semua. Allahumma Amin. Wallahu ‘Alamu bishshawab.[]
Muhammad Qamaruddin
Alumni Pondok Pesantren UII