CARA MUDAH MEMAHAMI TAUHID

Tauhid secara bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal.39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal.39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja. (Sumber: https://muslim.or.id/6615-makna-tauhid.html)

Pembagian tauhid ke dalam tiga bagian diambil dari penelitian terhadap nash-nash al-Qur’an. Dari ayat-ayat tersebut, disimpulkan bahwa tauhid itu terbagi menjadi tiga bagian. Oleh karena itu, pembagian ini merupakan hakikat syari’at yang diambil dari Kitabullah, bukan suatu istilah yang diada-adakan oleh sebagian ulama tanpa dalil.
Pembagian ini sangat memudahkan pemahaman kaum muslimin tentang tauhid. Dengan memahami tiga bagian tauhid ini, seorang muslim memiliki tolok ukur yang jelas dan mudah tentang tauhid, apakah ia sudah termasuk seorang muwahhid (yang mentauhidkan Allah l), atau belum. Seorang awam atau anak kecil yang belum baligh pun akan dengan mudah memahaminya. Dari berbagai dalil yang bertebaran dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan atsar Salafush Shalih, para ulama membagi tauhid ke dalam tiga bagian,

Tauhîd Rubûbiyyah
Pertama, tauhid rubûbiyyah (mengesakan Allah l dalam perbuatan-Nya) adalah i’tiqad (keyakinan) yang mantap bahwa hanya Allah yang mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan dan mengatur semua urusan semua makhluk. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam semua itu. Hanya Allah Ta’ala saja yang mampu melakukannya.
Lawan dari tauhid rubûbiyyah adalah meyakini ada selain Allah l yang ikut mencipta, mengatur makhluk, atau melakukan perbuatan-perbuatan lainnya yang hanya dapat dilakukan oleh Allah l.
Di antara dalil-dalil tauhid rubûbiyyah adalah firman Allah l yang artinya,

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (Q.S. al-A’râf [7]: 54)

Firman-Nya juga yang artinya,

“Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kalian tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka mengapa kalian tidak bertaqwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka mengapa kalian masih tertipu?’” (Q.S. al-Mu’minûn [23]: 84-89)

Tauhîd Ulûhiyyah
Kedua, tauhîd ulûhiyyah (mengesakan Allah l dalam peribadatan hamba kepada-Nya) adalah mengesakan peribadatan hanya kepada Allah l saja, baik dalam hal cinta, takut dan harap serta ikhlash, shalat, haji, jihad fî sabilillâh, menuntut ilmu, dan peribadatan lainnya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, yakni tidak ada peribadatan kepada selain-Nya. Seseorang yang memahami dan mengakui ke-rububiyyah-an Allah l, dituntut untuk mentauhidkan ulûhiyyah-Nya.
Lawan dari tauhîd ulûhiyyah adalah melakukan peribadatan kepada selain Allah l, baik peribadatan yang berkaitan dengan hati, lisan, anggota badan, maupun harta.
Di antara dalil-dalil Tauhid Uluuhiyyah adalah firman Allah l yang artinya,

“Katakanlah: ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.’ Maka sembahlah oleh kalian (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia.” (Q.S. az-Zumar [39]: 14-15)

Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Bahkan kebanyakan isi al-Qur’an menerangkan tentang tauhîd ulûhiyyah, yakni yang menerangkan makna lâ ilâha illallâh, yang tersusun dari dua rukun; 1) An-Nafyu, yakni menolak segala macam yang disembah selain Allah l dengan berbagai macam bentuk peribadatan. 2) Al-Itsbât, yakni menetapkan Allah l semata dalam segala peribadatan kepada-Nya dengan ikhlas, yang dilakukan berdasarkan petunjuk Rasulullah `.

Tauhîd Asmâ wa Shifât
Ketiga, tauhîd asmâ wa shifât (mengesakan Allah l dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya) adalah keimanan yang mantap terhadap nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Semua itu ditetapkan tanpa tahrîf (mengubah lafazh atau maknanya), ta’thîl (meniadakan atau mengingkari keberadaan sifat-sifat Allah, baik mengingkari seluruhnya atau sebagian), takyîf (menggambarkan “bagaimana” nya sifat-sifat tersebut), maupun tamtsîl (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya). Semua nama dan sifat yang telah ditetapkan itu diyakini bahwa hanya Allah l saja yang memilikinya. Tidak ada seorang makhluk pun yang memiliki nama dan sifat seperti Allah l, karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya.
Lawan dari tauhîd asmâ wa shifât adalah mengingkari atau meniadakan sifat-sifat Allah l, atau menyerupakannya dengan makhluk.
Di antara dalil-dalil tauhîd asmâ wa shifât adalah firman Allah l yang artinya,

“Dia-lah Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Asmâ-ul Husna (nama-nama yang terbaik).” (Q.S. Thâhâ [20]: 8)

Di antara ayat yang menghimpun tiga macam tauhid adalah firman Allah l yang artinya,

“(Dia-lah) Rabb langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?” (Q.S. Maryam [19]: 65)

Penting untuk diketahui bahwa pembagian tauhid ke dalam tiga bagian sudah ada sejak zaman salafush shalih. Semua imam membicarakan pembagian tauhid ke dalam tiga bagian. Mereka sepakat dengan ahlus sunnah wal jama’ah. Tidak ada seorang pun dari kaum salaf yang mengingkari pembagian ini. Seandainya seluruh usia kita digunakan untuk meneliti kitab-kitab ahli ilmu, maka tidak akan kita temukan kaum salaf yang mengingkarinya. Justru akan kita dapatkan berbagai nash yang banyak dari mereka yang membicarakan pembagian tauhid ini dengan mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah.

Berikut ini akan dikemukakan sebagian kecil saja: Imam Abu ‘Abdillah, ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah al-‘Akbari (wafat tahun 387 H) berkata dalam kitabnya, “Al-Ibânah ‘an Syarî’atil Firqatin Nâjiyati wa Mujânabatil Firaqil Madzmûmah” (hal. 693, 694 dalam manuskripnya atau hal.150 dalam ringkasannya), “Penjelasannya: Sesungguhnya pokok-pokok keimanan kepada Allah l yang harus dijadikan keyakinan oleh makhluk dalam menetapkan keimanan ada tiga perkara”:

  1. Seorang hamba harus meyakini rabbaniyyah Allah l. Hal ini agar berbeda dengan Ahlut Ta’thîl, yakni orang-orang yang tidak menetapkan adanya perbuatan Allah l.
  2. Seorang hamba harus meyakini wahdaniyyah (keesaan) Allah l. Hal ini agar berbeda dengan orang-orang musyrik yang mengakui adanya perbuatan Allah l, akan tetapi mereka menyekutukan Allah l dalam beribadah. Tegasnya, mereka beribadah pula kepada selain Allah l, disamping beribadah kepada Allah l.
  3. Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah l disifati dengan sifat-sifat yang tidak boleh tidak, bahwa Allah l disifati dengan sifat-sifat tersebut, seperti ilmu, kekuasaan, kebijaksanaan, dan sifat-sifat lainnya yang telah Allah l sebutkan dalam Kitab-Nya, ketika menyifati diri-Nya sendiri. Hal ini kami tegaskan karena banyak orang yang mengakui rabbaniyyah Allah, lalu ia mentauhidkan Allah l dengan perkataan yang mutlak, akan tetapi ia mengingkari sifat-sifat-Nya. Keingkarannya tersebut mencederai tauhidnya kepada Allah l. Selain itu, kami dapatkan bahwa Allah l menyeru para hamba-Nya untuk meyakini dan mengimani ketiga pokok keimanan tersebut. Adapun seruan Allah l kepada para hamba-Nya untuk meyakini rabbaniyyah dan wahdaniyyah-Nya, maka kami tidak akan membahasnya lagi disini, karena panjang dan luasnya pembicaraan padanya. Bahkan kaum Jahmiyyah pun mengakui sendiri dua pokok tersebut. Akan tetapi mereka mengingkari sifat-sifat Allah l. Keingkaran mereka (terhadap sifat-sifat Allah l) inilah yang membatalkan pengakuan mereka terhadap dua pokok keimanan yang pertama, (yakni rabbaniyyah dan wahdaniyyah-Nya).

Kemudian Ibnu Baththah menerangkan kebathilan pendapat kaum Jahmiyyah yang meniadakan sifat-sifat Allah l.
Nash seperti di atas sangat jelas menunjukkan pembagian tauhid kepada tiga bagian. Perkataan Ibnu Baththah, “Pokok-pokok keimanan kepada Allah l yang harus dijadikan keyakinan oleh makhluk dalam menetapkan keimanan ada tiga perkara,” menunjukkan bahwa tidak ada keimanan bagi orang yang tidak memiliki tiga keyakinan tersebut. Maka bagaimana mungkin seorang yang berakal mengatakan bahwa perkara yang tiga ini tidak ada asalnya, dan tidak terdapat dalam al-Kitab dan as-Sunnah.

Musta’in Billah
Mahasiswa Ilmu Kimia
FMIPA UII

Mutiara hikmah:
Imam Malik bin Anas mengatakan,

الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء

“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” (Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138)