Bersahabat Dengan Musibah Dan Kesulitan

Oleh Putut Sutarwan Putut Sutarwan

<[email protected]>

Bencana alam yang terjadi di Indonesia  pada Tahun 2020 total mencapai 2.952 yang paling banyak didominasi bencana alam kemudian diikuti puting beliung dan tanah longsor, selain bencana alam pada tanggal 13 April 2020 pemerintah menetapkan penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional non alam1. Pandemi COVID-19 entah kapan akan berakhir, muncul pertama kali terdeteksi di China pada akhir 2019 dan pada Juni 2021, telah menyebar ke seluruh dunia, menyebabkan lebih dari 178 juta kasus yang dikonfirmasi dan jutaan manusia meninggal,2 bahkan akhir-akhir ini sedang terjadi lonjakan kasus COVID-19 dengan varian baru virus COVID-19 dari Inggris, Afrika Selatan dan India.3 Musibah datang silih berganti. Mengapa musibah selalu ada? Sebuah pertanyaan yang sering muncul dan dilontarkan oleh sebagian orang yang akrab dengannya. Musibah, seringkali hadir dalam kehidupan manusia yang tentu tidak pernah menginginkannya.

Karakter hedonisme manusia muncul menganggap kesusahan, penderitaan dan tidak menyenangkan dinilai tidak baik, menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidupnya,4 terhadap kemewahan dan kesenangan manusia akan cenderung langsung berebut, tanpa berfikir terlebih dahulu tentang syarat untuk memperoleh kesenangan itu. Apabila sudah menyangkut syarat-syarat, seringkali banyak yang segan untuk menerimanya, inginya hanya mendapat keuntungan dan kesenangan tanpa menemui kesulitan. Seringkali orang sudah takut mendengar sesuatu yang berbau kesulitan tanpa memperhitungkan apakah ketakutannya itu sudah tepat atau tidak? karena ketakutan yang berlebihan akan menghalangi orang untuk mendapatkan kebaikan dibalik kesulitan itu.

Setiap manusia yang hidup di dunia pasti akan mengalami dan merasakan musibah dan kesulitan, baik orang yang beriman maupun orang kafir terhadap Allah SWT, yakni akan mengalami berbagai macam musibah dan kesulitan. Perbedaannya adalah bagaimana mereka dapat memahami hakikat musibah dan kesulitan itu kemudian bagaimana menyikapinya.5 Jika kita mau merenungkan dan berpikir, apabila di dunia ini tidak ada musibah sebagai ujian, maka niscaya dunia akan terasa hambar. Dari musibah dan kesulitan melahirkan beberapa lapis manusia dengan julukan dan predikat masing-masing, karena gemblengan musibah dan kesulitan mampu membuat seseorang itu terasah dan tergembleng, semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin berat pula ujiannya.

Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam mensikapi musibah dan kesulitan:

Pertama, muhasabah atau introspeksi diri dengan mohon petunjuk dan ampunan kepada Sang Pencipta. Adakalanya musibah dan kesulitan yang terjadi akibat perbuatan manusia itu sendiri, karena kita memang tempatnya salah dan lupa, kesalahan bukanlah suatu aib yang harus di tutupi, akan tetapi jika itu berhubungan dengan hablum min naas maka kita harus minta maaf secara langsung, dan apabila berbuat dosa kepada Allah maka bermunajat mohon ampunan serta tidak mengulangi lagi perbuatan dosa, Insyaallah pengampunan dan kasih sayang Allah SWT Maha Luas. Allah SWT berfirman:

فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62)

Artinya : “Maka Bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna“” (QS. an-Nisaa’[4] : 62).

Kedua, menyadari bahwa kami milik Allah SWT6 dengan demikian apa saja yang kita lakukan dengan niat semata-mata karena lillahi ta’ala. Hakikat kehidupan dunia adalah ditandai dengan adanya cobaan dan ujian yang beraneka ragam. Sebagian ada yang berhasil dan ada pula yang gagal melewatinya. Proses perjuangan untuk menaklukkkan cobaan dan ujian inilah yang kemudian disebut dengan hidup. Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156)

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun””(QS. al-Baqarah [2]: 156)

Ketiga, menyadari bahwa musibah dan kesulitan milik semua orang, semua orang pasti akan mengalami dan menemui musibah dan kesulitan sebagai ujian dalam kehidupannya dengan bentuk dan kadar yang berbeda-beda, tidak perlu iri dengan kemudahan dan kesenangan yang didapat oleh orang lain. Kadangkala sebagian orang harus menjadi korban demi sebagian orang yang lain. Harus ada yang sakit agar manusia mengetahui nikmatnya sehat, harus ada yang menakutkan agar diketahui nilai keberanian,  harus  ada  petaka  agar  dirasakan  makna  kesabaran.7 Allah SWT berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155)

Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. al-Baqarah [2]:155).

Musibah dan kesulitan bisa diartikan sebagai alat untuk menguji tingkat keimanan dan kesabaran manusia. Terlalu naif jika dalam kehidupan ini memimpikan suasana dan keadaan yang serba enak dan mudah. Namun, bukan berarti kita tidak boleh untuk hidup bahagia dan senang, kita hanya diingatkan bahwa kebahagiaan yang sejati dan abadi adalah kebahagiaan di alam akhirat kelak. Allah SWT berfirman:

وَأَكِيدُ كَيْدًا (16) فَمَهِّلِ الْكَافِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا (17)

Artinya: “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’la [87]: 16-17).

Keempat, menyadari bahwa musibah dan kesulitan yang menimpa setiap orang setara dengan kemampuan dan kesanggupan untuk memikulnya. Allah tidak akan membebani di luar batas kemapuan seorang hamba untuk memikulnya. Allah SWT berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (QS. al-Baqarah [2]:286)

Ini adalah bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hambanya, dibalik musibah dan kesulitan mengandung hikmah dan kebaikan, selain itu tidak akan melampaui batas kemampuan manusia.

Kelima, menyadari dan yakin bahwa dalam setiap musibah dan kesulitan ada kemudahan, Islam mengajarkan, bahwa letak kemudahan itu ada di balik kesulitan, karena sesunggunya bersama kesulitan ada kemudahan. Allah SWT berfirman:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)

Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. al-Insyirah [94]: 5 – 6).

Dari setiap musibah dan kesulitan ini akan memberikan gambaran yang jelas tentang siapa diri kita. Karena ia adalah representasi yang mampu memberikan gambaran utuh tentang kepribadian dan karakter kita. Musibah dan kesulitan akan menjadi bayangan yang akan terus melekat kepada manusia. Keniscayaan bagi manusia mukallaf, maka tidak seorang pun yang luput darinya,8 bisa datang kapan dan dimana saja. Tahapan-tahapan ujian diciptakan oleh Allah SWT untuk mengetahui siapa-siapa dari hambaNya yang sabar dan syukur dan juga menjelaskan siapa saja dari hambaNya yang kufur. Ketika semua usaha telah dikerahkan dan tidak mampu teratasi, maka secara alami manusia akan bersimpuh dan menyebut Tuhannya agar diturunkan pertolongan. Itulah hikmah di balik musibah dan kesulitan. Maka janganlah kita membenci musibah dan kesulitan, karena terkadang melalui kehadirannya kita menjadi dekat dan bersyukur kepada Sang Kholiq.

Inilah realita kehidupan, musibah dan kesulitan jika dipahami dengan bijaksana akan menumbuhkan kesadaran alamiah bahwa itu merupakan bagian dari lembaran hidup yang harus dijalani. Jika demikian, maka tidak akan ada lagi perasaan takut, sedih berlebihan, putus asa untuk menghadapinya.

Wallahu a’lam bishawab

Ma’raji

[1] (https://bnpb.go.id/infografis/kejadianbencanatahun-2020) diakses tanggal 13 Juli 2021

[2] (https://www.bbc.com/indonesia/dunia-57590872) diakses tanggal 13 Juli 2021

[3] (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/beritautama/20210504/1737688/viruscoronavarianbarub-117-b-1351-b-1617-sudahadadiindonesia/) diakses tanggal 13 Juli 2021

[4] Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. (Yogyakarta: Kanisius, 1987). hal. 144

[5] Syaikh Sa’id bin „Ali bin Wahft al-Qahthani, Penyejuk Hati di tengah Panasnya Musibah (terjemahan), (Jakarta: Pustaka al-Tibyan, 2008), hal. 1

[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Volume I, Cet. V, t. hal.438

[7] M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 394

[8] M. Quraish Shihab, “Musibah dalam Perspektif Al-Qur‟an” dalam Jurnal Study Al-Qur‟an, (Jakarta: PSQ (Pusat Study Qur‟an), 2006), Vol I. No I, hal. 12

Putut Sutarwan