ADAB BERDAKWAH DAN MENASEHATI
ADAB BERDAKWAH DAN MENASEHATI
Oleh: Siti Amarah
Penulis merupakan seorang tenaga kependidikan UII yang ditugaskan di Direktorat Sumber Daya Manusia bagian Pusat Bantuan Sosial dan Kesehatan.
Saling nasihat-menasihati adalah sebuah kewajiban bagi sesama muslim agar kita dapat senantiasa meningkatkan kualitas kehidupan kita untuk menjadi lebih baik dan terhindar dari golongan orang yang merugi, sebagaimana firman Allah SWT:
“Demi masa, Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta saling berwasiat (menasihati) untuk kebenaran dan saling berwasiat (menasihati) untuk bersabar”. (Q.S. Al-‘Ashr [103]: 1-3)[1]
Dalam memberikan nasihat, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dengan baik agar nasihat dapat diterima dengan baik. Sebagaimana dalam suatu kaidah pembelajaran juga dikenal istilah “Metode itu lebih penting dari pada Materi”. Yang berarti cara kita menyampaikan nasihat itu lebih penting daripada nasihat yang sebenarnya ingin kita sampaikan, agar hal tersebut mudah dipahami, kemudian dipraktikkan dengan cara yang benar, tanpa ada kesalah pahaman dalam penyampaian, atau bahkan penolakan.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Berserulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”. (Q.S. An-Nahl [16]: 125)
Dalam berdakwah dan saling menasihati, ada beberapa poin yang hendaknya harus kita perhatikan diantaranya adalah:
Niat
Segala perbuatan yang baik hendaknya dilakukan dengan cara yang baik pula, sebagaimana halnya menolong yang harus dilakukan dengan penuh keikhlasan, beribadah tanpa ada rasa riya’, begitu pula dengan saling menasihati antar sesama kita.
Berdakwah dan memberikan nasihat haruslah untuk agama Allah, demi mendapatkan jalan menuju ridha-Nya semata, bukan untuk kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu. Oleh karena itu, ketika kita menyerukan kebaikan harus benar-benar didasarkan pada keikhlasan. Sesuatu yang benar jika tidak dilandasi dengan yang benar pula, maka dapat mengubah ganjaran yang seharusnya kita dapatkan dari pahala menjadi sebuah dosa. Ikhlas adalah salah satu syarat di terimanya sebuah amal, termasuk dalam berdakwah dan saling menasihati.
Kita tidak boleh menasihati dengan niat mempermalukan orang lain dengan kesalahan yang mereka lakukan. Dalam berdakwah juga tidak boleh didasari niat untuk mencari harta, kedudukan ataupun popularitas, namun semata-mata karena keikhlasan mengharapkan Ridho Allah SWT. Mendasari hati kita dengan keikhlasan, dapat menghindarkan diri kita dari sifat sombong, sehingga tidak merasa diri kita lebih baik dari orang yang kita nasihati dan juga terhindar dari riya’ (pamer agar dilihat orang), serta sum’ah (pamer agar didengar orang) bahwa kita memiliki ilmu yang lebih.
Dalam Surat al-Furqan ayat ke 57, Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah: Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah”.[2]
Berlandaskan Ilmu
Berdakwah harus dengan Hikmah. Hikmah disini mengandung beberapa arti. Pertama, pengetahuan tentang rahasia dan faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu maka diyakini kebenaraannya. Kedua, perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang bathil atau subhat (meragukan). Ketiga, mengetahui hukum-hukum AlQur’an dan Hadist.[3]
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud dari kata Hikmah adalah apa saja yang di syariatkan pada Nabi Muhammad melalui Qur’an dan Sunnah.[4]
Oleh karenanya diwajibkan bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu, karena wajib bagi seorang ketika berdakwah dan memberikan nasihat untuk mendasarkan argumennya pada ilmu serta dalil-dalil yang jelas, sehingga dakwah serta nasihat yang kita berikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, berdasarkan Al-Qur’an, Hadist, serta Ijma’ para ulama.
Berdakwah dengan Hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan rahasia, faedah, dan maksud dari wahyu Illahi serta Sunnah Rasul, dengan cara yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, agar mudah dipahami ummat. Nasihat haruslah dilakukan dengan cara yang bijaksana, kita harus pandai melihat topik nasihat yang ingin kita sampaikan, serta kepada siapa kita akan menyampaikan nasihat tersebut. Nasihat kepada orang awam tentu berbeda dengan nasihat kepada penguasa.[5] Kita juga harus melihat apa inti nasihat yang akan kita berikan, kapan nasihat tersebut sebaiknya diberikan, dimana kita dapat memberikan nasihat tersebut dengan optimal, serta kenapa nasihat tersebut harus kita berikan.
Pengajaran (Nasihat) Yang Baik
Dalam menyampaikan kebenaran hendaklah diutarakan dengan kalimat yang baik, lemah lembut serta santun.[6] Kata-kata yang buruk dapat menimbulkan kesalah pahaman, serta nada tinggi ketika menasihati bisa saja hanya akan memperkeruh suasana tanpa menghasilkan solusi. Namun demikian menyampaikan peringatan dan ancaman juga dibolehkan, jika kondisinya memungkindan dan di perlukan, karena kadang nada yang terlampau lembut tidak akan berdampak pada sebagian orang yang hatinya bebal.
Pengutaraan yang menyenangkan dengan sisipan candaan juga diperlukan untuk membuka suasana hati seseorang agar lebih mudah menerima nasihat yang diberikan. Dengan hati yang gembira, maka seseorang cenderung lebih mudah menerima kebaikan dan kebenaran.
Pemilihan waktu dan tempat untuk memberikan nasihat pun tentu akan berpengaruh dengan bagaimana penerimaan orang terhadap nasihat yang kita berikan. Teguran yang diberikan khusus untuk satu orang tapi kita mengutarakannya di depan khalayak ramai tak ubahnya dengan menunjukkan aib saudara kita tersebut kepada semua orang, itu dapat menimbulkan rasa sakit hati.
Berdebat Dengan Cara Terbaik
Cara kita berinteraksi dengan orang lain tentu akan sangat berpengaruh dengan bagaimana kebenaran yang kita ucapkan dapat diterima oleh orang lain. Bila terjadi perdebatan, haruslah dilakukan dengan cara yang baik, tidak dengan kata-kata yang tajam sehingga menimbulkan suasana yang panas. Perdebatan yang baik hendaknya diciptakan dengan suasana yang santai dan nyaman disertai dengan argumen yang jelas dan cerdas. Dengan demikian lawan debat tidak akan merasa dirinya direndahkan, dan harga dirinya masih dihormati, sehingga tujuan dari perdebatan tersebut dapat tercapai dengan maksimal.
Mengamalkan Nasihat
Dalam surah al-Ashr, perintah untuk saling menasihati didahului dengan perintah untuk beriman dan beramal shalih. Karena memang sebelum memberikan nasihat, sudah seharusnya kita melaksanakan apa yang akan kita nasihati. Bagaimana mungkin dakwah serta nasihat kita akan didengarkan oleh orang lain jikalau perbuatan kita berbalik dengan apa yang kita utarakan. Allah SWT sendiri telah mencela orang-orang yang berbuat demikian dalam firman-Nya:
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca alKitab? maka tidaklah kamu berpikir? (Q.S. Al-Baqoroh [2]: 44)[7]
Mengamalkan ilmu yang kita punya serta memberikan contoh perilaku dan budi pekerti yang baik juga merupakan dakwah secara tidak langsung. Ketika orang lain merasakan dampak manfaat dari perbuatan baik kita, maka mereka akan terdorong untuk berperilaku yang serupa dengan kita. Perbaikilah dirimu, maka orang lain akan memperbaiki diri mereka sendiri karena nasihat terbaik yang dapat diberikan adalah dengan memberikan contoh yang terbaik.
Kembalikan Pada Allah SWT
Di akhir ayat ke 125 surat An-Nahl Allah menegaskan bahwa tugas kita adalah semata menyampaikan kebenaran berdasarkan syari’at Allah, sedangkan apakah dakwah serta nasihat kita dapat diterima oleh orang lain ataukah ditolak itu semata hanya Allah Yang Maha Mengetahui, dan semoga kita semua termasuk golongan dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk-Nya. Wallahu a’alamu bi-s-shawaab.
[1] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10, Widya Cahaya, Jakarta, 2011
[2] Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah, Jilid 1, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2019
[3] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 5, Widya Cahaya, Jakarta, 2011
[4] Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5, , Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2019
[5] Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah, Jilid 1, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2019
[6] Muhammad Ibrahim Al Hifnawi, Tafsir Al Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta 2008
[7] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1, Widya Cahaya, Jakarta, 2011