Ibadah Haji – Rukun Islam ke-5
Ibadah Haji – Rukun Islam ke-5
Retno Farida
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron[3]: 97:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”
Ayat di atas dapat dipahami bahwa haji adalah sebuah kewajiban bagi semua umat muslim yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perjalanan ke Baitullah di Mekkah.
Dalam kitab Hadits Arba’in karangan Imam An-Nawawi, kitab yang menghimpun kurang lebih empat puluh hadits yang menjadi pokok-pokok agama Islam, pada hadits kedua yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .
[رواه مسلم]
“Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Illah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian.”( H.R. Muslim)[1]
Betapa nikmatnya kehidupan orang muslim pada zaman nabi Muhammad SAW. Mereka dapat mengalami secara langsung bagaimana Islam as origin sedikit demi sedikit diajarkan kepada manusia, percakapan secara langsung antara Nabi-Nya dan Malaikat-Nya yang secara utuh dapat disaksikan. Kejadian dalam periwayatan hadits di atas membuktikan bahwa beberapa malaikat memang diperintahkan oleh Allah untuk turun ke bumi. Banyak hadits lain juga yang menyebutkan, bahwa pada saat-saat tertentu Allah memerintahkan Malaikat-Nya untuk turun ke bumi dalam rangka memberikan perhatian-Nya kepada makhluk cipataan-Nya. Allah tidak pernah membiarkan umat muslim sendirian melaksanakan tugas utamanya, yaitu beribadah kepada –Nya. Allah selalu hadir dalam setiap seluk beluk kehidupan, terkadang melalui makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya. Dalam hadits di atas kita dapat mengetahui bahwa agama Islam terdiri dari 5 (lima) pilar utama, salah satunya adalah menunaikan ibadah Haji, bagi yang mampu. Frasa bagi yang mampu ini mengandung pengertian tidak menjadi wajib jika tidak memiliki kemampuan melaksanakan perjalanan.
Keutamaan Ibadah Haji
Dalam kitab Riyadhus Sholihin, pada hadits nomor 1273 Imam An-Nawawi menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim terkait keutamaan Ibadah Haji:
وَعنْهُ قال : سُئِلَ النبي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : أَيُّ العَمَلِ أَفضَلُ ؟ قال : « إيمانٌ بِاللَّهِ ورَسُولِهِ» قيل : ثُمَّ ماذَا ؟ قال : « الجِهَادُ في سَبِيلِ اللَّهِ » قيل : ثمَّ ماذَا ؟ قَال : « حَجٌ مَبرُورٌ » متفقٌ عليهِ .
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu pula, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam ditanya: “Amalan manakah yang lebih utama?” Beliau shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ditanya lagi: “Kemudian apakah?” Beliau shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Jihad fisabilillah.” Ditanya pula: “Kemudian apakah? Beliau shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Haji yang mabrur”. (Muttafaq ‘alaih)
Dalam kitab yang sama hadits nomor 1276 juga diriwayatkan sabda Rasulullah:
وَعَنْ عَائِشَةَ ، رضي الله عَنْهَا ، قَالَتْ : قُلْتُ يا رَسُولَ اللَّه ، نَرى الجِهَادَ أَفضَلَ العملِ ، أفَلا نُجاهِدُ ؟ فَقَالَ : « لكِنْ أَفضَلُ الجِهَادِ : حَجٌّ مبرُورٌ » رواهُ البخاريُّ .
“Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, kita mengetahui bahwa jihad adalah seutama-utama amalan. Maka dari itu, apakah kita (kaum wanita) tidak baik mengikuti jihad?”Beliau shalallahu alaihi wasalam lalu menjawab: “Bagi engkau semua (kaum wanita), maka sebaik-baiknya jihad ialah mengerjakan haji yang mabrur.” (H.R. Bukhari)
Dalam hadits di atas diketahui bahwa ibadah Haji adalah amalan yang utama, bahkan bagi kaum wanita merupakan amalan yang dapat dipersamakan dengan jihad fisabilillah. Oleh karena keutamaannya, bagi mereka yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk datang ke Baitullah, maka termasuk suatu kenikmatan yag lauar biasa.[2]
Syarat-syarat dan Larangan dalam Ibadah Haji
Dalam Kitab Matan Al-Ghayah wat Taqrib atau dikenal dengan Kitab Taqrib, pada pembahasan tentang Haji, disebutkan syarat-syarat (orang) wajib melakukan haji itu ada 7 (tujuh), yaitu: (a) Beragama Islam; (b) Cukup umur; (c) Sehat akalnya; (d) Merdeka (bukan budak); (e) Adanya bekal yang cukup; f) Ada alat transportasi yang memadai; (g) Mungkinnya melakukan perjalanan haji.
Apabila salah satu atau beberapa syarat tidak dapat terpenuhi, maka kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji akan gugur. Allah tidak memberati hambanya untuk melaksanakan ibadah. Hal ini bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari manusia yang bersangkutan. Masih dalam kitab yang sama, disebutkan bahwa haram bagi orang yang ihram melakukan 10 (sepuluh) perkara berikut: (1) Memakai pakaian yang berjahit; (2) Memakai penutup kepala bagi laki-laki, serta memakai penutup wajah bagi kaum wanita; (3) Menyisir rambut; (4) Memotong rambut; (5) Memotong kuku; (6) Memakai wangi-wangian; (7) Membunuh hewan buruan; (8) Melaksanakan akad nikah; (9) Berhubungan seksual; (10) Bersentuhan atau bercumbu rayu yang disertai dengan syahwat. Ketika melakukan pelanggaran terhadap ketentuan di atas, maka akan dikenai fidyah (tebusan) kecuali akad nikah, karena akad nikah yang dilakukan saat ihram sesungguhnya tidak sah.[3]
Sementara untuk menggapai tingkatan mabrur, maka seseorang harus melaksanakan haji dengan memenuhi syarat-syaratnya dan juga meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan haji. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dalam kitab Riyadhus Sholihin hadits nomor 1274:
وعن أبي هريرة قالَ: سَمِعْتُ رسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يَقولُ : « منْ حجَّ فَلَم يرْفُثْ ، وَلَم يفْسُقْ ، رجَع كَيَومِ ولَدتْهُ أُمُّهُ » . متفقٌ عليه
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, berkata: “Saya mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan haji, lalu ia tidak berbuat kelalaian dan tidak pula mengerjakan dosa (yakni kemaksiatan besar atau yang kecil secara berulang kali), maka ia akan kembali dari ibadah hajinya itu sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya (yakni tidak ada dosa dalam dirinya sama sekali)” (Muttafaqun ‘alaih)
Maraji’:
[1] Imam an- Nawawi. Hadits Arba’in. Ummul Qura.
[2] Mubarak Alu Aziz Abdul bin Faishal. 2014. Riyadhus Shalihin & Penjelasannya /Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak; alihBahasa, ArifMahmudi. Jakarta : Ummul qura.
[3] Al-Bigha Dib Mustafa. 2011. Tadzhib SyarahTaqrib. Surabaya: Al Miftah.
Penyusun:
Retno Farida, [email protected]